Tak
Terduga
Oleh
: Mayolalita Pradina
“
Lo berubah Ta, lo enggak kaya Tirta yang gue kenal dulu.” Ucap gue nyiris
sambil nahan air mata gue yang entah bisa atau enggak gue bendung saat ini.
“
Enggak ada yang berubah, mungkin itu hanya perasaan lo. Tapi buat gue, gue ya gue.
Inilah gue apa adanya, inilah gue, diri gue yang sebenarnya. Terserah lo mau
terima keadaan gue yang kaya gini atau enggak. Karna itu hak lo.” Tegas Tirta
yang buat hati gue teriris banget. Gue pun diam enggak bisa berkata apapun.
Demi Tuhan, gue enggak sanggup dengar kata-kata yang dia bilang. Kecewa, ya
mungkin hanya itu yang bisa gue rasain saat itu ke dia.
“
Oke kalau gitu, sorry and thank’s banget buat semuanya. Gue cukup tau lo yang
saat ini dan gue anggap kata-kata lo itu adalah kata-kata terakhir yang buat
gue sakit. “ ucap gue menahan tangis. Wajah gue yang tertunduk lesu mengahadap
tanah dan isak yang gue tahan dari awal.
“
Maaf ? tuk apa ? Lo enggak salah apapun kok sama gue. And lo bilang Terima
kasih ? Buat apa ? Gue enggak pernah merasa ngasih lo apa-apa “ Jujur sekali
lagi Tirta Sudah bikin gue sakit denger kata-kata yang keluar dari mulutnya.
Gue pun berusaha natap mata dia dengan tatapannya yang tajam yang enggak bakal
pernah gue lupain.
“
enggak apa-apa “ Ucap gue singkat karna memang gue enggak bisa berkata apapun
lagi. Tatapannya yang buat gue senyum dan tatapannya pulalah yang buat sedih.
“
Kenapa enggak apa-apa lo bilang ? “ Tanya Tirta sambil menangkat wajah gue yang
sudah berlumuran sama air mata yang sudah menetes di pipi gue tanpa henti.
“
Lalu lo mau gue ngomong apa ? Kalau lo pun sudah bilang gitu. Jujur gue kecewa,
tapi semua mungkin enggak ada artinya bagi lo “ Ucap gue teriak di hadapan dia
dan tanpa gue sadari air mata gue makin deras keluar.
Tirta
pun diam mendengar ucapan gue tadi, teriakan yang mungkin bakal dia ingat saat
itu. Teriakan yang enggak pernah gue lakukan selama hidup gue. Dan Tirta
mendengar teriakan gue untuk yang pertama kali.
“
Ya ampun Ra, lo anggap ucapan gue serius ya ? hahahha… Gue hanya kidding kali
jangan di masukkin ke dalam hati dong. “ Kata Tirta sambil tertawa
terbahak-bahak liat komuk gue yang sudah bengkak.
“
Bercanda lo sudah keterlaluan. Semuanya enggak lucu sama sekali “ Kata gue
marah sedikit sama Tirta. Ya seenggaknya gue tenang kalau ucapan dia yang tadi
itu enggak sungguh-sungguh dia ucapin. God, loncat-loncat nih hati rasanya.
“
Ya sudah maaf-maaf. Gue janji deh enggak akan ngulangin itu lagi. Tapi sumpah
tadi gue Cuma bercanda. Demi Tuhan enggak ada unsur gue buat bikin lo nyiris. “
Kata Tirta memelas sama gue.
“
Enggak perlu minta maaf, mungkin memang gue yang terlalu berlebihan nyikapin
itu semua “ Ucap gue dengan seutas senyum gue. Sebenarnya gue pengen loncat
girang tapi gue malu. Uh.
“
Maaf.. Maaf… Maaf, kalau semua ini buat lo begitu “
“
Ngga kok lo ngga salah apa-apa, gue yang salah “
“
Ngga Ra, gue yang salah, seharusnya gue ngga begitu ke lo “ ucap Tirta dengan
kata-katanya yang buat gue ngga tega.
“
Ngga kok. Ngga ada yang salah dalam diri lo, Ta “ senyum gue yang buat dia
melihat gue amat dalam. Tirta pun memegang kedua pinggir pipi gue dengan
kehangatan tangannya. Jantung gue seakan berdetak kencang. Please..
“
Ra, banyak yang salah dalam diri gue. Gue belum bisa bahagiain orang yang gue
sayang, gue belum bisa berfikir dewasa kaya lo, gue belum berani ngutarain
semua sama orang yang jelas-jelas gue sayang, dan gue takut dengan kebenaran
yang akan terjadi “
Tirta
makin dekatkan wajahnya ke gue. Entah apa yang akan di lakukan tapi yang pasti
gue ngga bisa buat apa-apa.
“
Takut ? tuk apa ? “ Ucap gue sambil jauhin wajah gue yang hampir bersentuhan
dengannya.
“
Gue takut kehilangan lo, gue takut tolakan dari lo “ Tirta pun lepasin
tangannya dari pipi gue.
Huh,
gila bisa merah nih muka gue kalau makin lama. Untungnya gue cepet-cepet nanya.
“
Ra, besok lo ada acara ngga ?”
“
Kayanya ngga ada tuh, kenapa ? “
“
Gue tunggu lo di Taman yah malam ini jam 7 “ Ucap Tirta. “ Gue balik yah,, Bye
“ Sambung dia lagi.
Sekarang
tepat jarum jam menunjuk ke angka 7. Gue pun bersiap tuk pergi ke taman.
Sesampainya disana gue ngga liat Tirta di bangku taman yang sudah ada. Gue pun
nunggu dia sampai larut malam.
4
jam berlalu saat jam telah menunjuk angka 10. Akhirnya gue putusin tuk pulang.
Gue amat kecewa dengan Tirta.
“
Gue kecewa sama lo, Tirta “ suara gue menggema di taman. Untaian air mata gue
yang mencerminkan perasaan gue saat ini. Bulan dan bintang yang ada saat itu
buat gue iri. Mereka bersinar dengan cahayanya yang terang buat gue inget
ucapan Tirta yang selalu suka dengan ilmu astronomi tentang perbintangan. Gue
pun selalu ingat bintang yang selalu jadi favoritnya, Sirius, bintang yang amat
terang dan ucapan yang selalu jadi pesan buat gue. Kata-kata Tirta yang bilang
kalau dia itu mau jadi bintang Sirius itu dia mau menerangi malam-malam gue.
Ringtone
telephone gue pun berdering. Gue harap itu Tirta, tapi bukan itu Revan.
“
Iya, Van ada apa ? “ Ucap gue dengan tersedu.
“
Ra, ini gawat. Sorry gue baru bisa kabarin, tapi lo harus segera kesini! Tirta,
Ra “ Ucap Revan yang buat hati gue cemas.
“
Kenapa, Van ? Tirta kenapa ? “ seakan jantung gue berhenti berdetak setelah
Revan bilang itu.
Gue
pun segera menunju Rumah sakit tuk jenguk Tirta.
“
Ra, lo telat “
“
Telat ? “
“
Iya, Tirta sudah ngga ada “ Ucap Revan.
Saat
denger semua itu gue pun serasa kaku. Ngga bisa bilang apapun. Seakan gue
behenti bernafas, jiwa gue seakan hilang.
“
Ngga, Van, lo pasti bohong “
*** Tunggu Episode Selanjutnya
Ya***